Thursday 25 April 2013

Karya Tulis Tentang Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

 
 
 PELAKSANAAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


Oleh
Tim Universitas Syiah Kuala:



Arfi Fazrian
Hisbah Rahmatan Putra
Rio Arapenta Tarigan



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2013
 
 
 


 
 




DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita, Romli. 2002.  Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia. Jakarta:BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI
Chazawi, Dr. Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: P.T.Alumni Bandung
Fuady, Munir. 2001.  Hukum Perbankan Modern, Cet.2. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Fuady, Munir. 2004, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti,
Mulyadi, Lilik. 2007. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung: P.T. Alumni Bandung
Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dan Praktek, cet. 5. Jakarta:Djambatan
Siahaan, N.H.T S.H., 2005. M.H.Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Ed., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Sutedi, Adrian. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Makalah
Indonesia, Bank. 2013.  Evaluasi Perekonomian Tahun 2012, Prospek 2013-2014, dan Kebijakan Bank Indonesia
Mardiana, Sari.  Indonesia Financial Intelligence Unit’s Obstacles for Revealing Money Laundering Crime.
Paulina, 2011. Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Swastika, Benny. 2011. Pembuktian Terbalik Pada Money Laundering, Universitas Indonesia
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Website
Bilawal Alhariri anwar, Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang , dapat diakses pada http://www.slideshare.net/BilawalAlhaririAnwar/pembuktian-terbalik-pada-tindak-pidana-pencucian-uang-15727390, diakses pada 16 April 2013.
Kompas.com, RI Masuk “Blaclist” Pencucian Uang, 18 febuari 2012 13:35:10.  Diakses pada 16 april 2012.
Wikipedia, Pencucian Uang. Dapat diakses pada http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang. diakses pada 16 April 2013.
 
 
 
 
 
 
PELAKSANAAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang mengalami kenaikan ditandai dengan terkendalinya inflasi.  Dalam pertumbuhan ekonomi yang cukup baik terdapat kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam mengelola dana. Serta diperparah dengan lemahnya hukum yang mengatur dalam hal kebijakan transaksi keuangan.
Ditandai dengan masuknya Indonesia ke dalam daftar hitam atau blacklist dalam pencucian uang oleh FATF (Financial Action Task Force).  Pencucian uang (Money Laundering) menurut Pamela H. Bucy adalah penyamaran keberadaan dari sumber dana keuangan yang tidak sah atau illegal menjadi seolah-olah hasil dari usaha/kegiatan bisnis yang legal/sah. 
Sehingga pemerintah menerapkan peraturan menganai pencucian uang, yaitu dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 2002. Namun penerapan yang kurang efektif justru membuat Indonesia semakin dicurigai sebagai surga bagi para kriminal untuk melakukan pencucian uang, karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, maraknya korupsi yang terjadi, peningkatan kejahatan narkotika, serta diperkuat dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kemudian dilakukan perubahan UU No. 15 Tahun 2002 menjadi UU No. 25 Tahun 2003. Ternyata dengan perkembangan dunia yang semakin maju terdapat peraturan yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sekarang ini, maka diperbaharui dengan UU No. 8 Tahun 2010  yang didalamnya mengatur Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai badan independent untuk menangani kasus yang menyangkut dengan pencucian uang seperti tertera dalam peraturan UU No. 8 Tahun 2010 Pasal 1 ayat (2).
Sulitnya penetapan tersangka dalam kasus pencucian uang, sehingga perlu penerapan asas beban pembuktian terbalik yaitu, dimana tersangka yang harus membuktikan bahwa harta yang dimiliki berasal dari harta yang halal (clean money) dan jika tersangka tidak berhasil membuktikan maka dianggap harta yang dimiliki merupakan hasil dari pencucian uang (money laundering). Asas ini cukup efektif dalam penentuan terdakwa dalam kasus pencucian uang yang marak terjadi di Indonesia.
B. Landasan Hukum
Kasus pencucian uang sangat sulit untuk dideteksi dan diketahui keberadaannya. Meskipun sudah diketahui belum tentu kasus tersebut dapat terselesaikan, karena sulitnya membuktikan bahwa uang tersebut hasil dari tindak pidana. Metode yang dapat digunakan adalah dengan beban pembuktian terbalik, yaitu dengan menciptakan presumption of guilt atau pernyataan bersalah, sehingga terdakwa sendiri yang membuktikan dirinya tidak bersalah.
Metode beban pembuktian terbalik ditandai dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 1971  pada Pasal 17, yang isinya:
1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalma ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian Negara, atau
b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
3. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang   pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum diwajibkan memberikan pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
        Metode sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1971 tidak diatur secara eksplisit dan absolute karena, belum sepenuhnya pembuktian dilakukan oleh terdakwa melainkan juga oleh jaksa penuntut umum. Begitupun dalam Pasal 18 yang mengatur tentang kepemilikan harta benda pelaku.
Beban pembuktian terbalik juga jelas diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001  mengenai tindak pidana korupsi, yang diatur dalam Pasal 37 yang berbunyi:
1.    Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2.    Dala terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 juga dikenal pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolut/mutlak bahwa beban pembuktian semata-mata dilakukan oleh terdakwa seperti ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a mengenai pemberian uang (gratification) yang bukan suap yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) ke atas dan ketentuan Pasal 38 B tentang harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan dan oleh Penuntut sebagaimana ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf b yaitu tentang pemberian uang (gratification) bukan suap yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) dan Pasal 38 C UU No.20 Tahun 2001 tentang harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara dan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap , negara melalui Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Sebenarnya , bergesernya pembalikan beban pembuktian ini dimulai dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Prp Tahun 1960  yang menentukan:
“Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/  suami dan anak dan harta benda sesuatu badan yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa.”
Kemudian beban pembuktian terbalik juga dilakukan dalam tindak pidana pencucian uang (Money Laundering), yang diatur dalam Pasal 77 dan 78 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 yang berbunyi:
Pasal 77, yaitu:
“Untuk Kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Pasal 78, yaitu:
1.    Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Beban pembuktian ada pada terdakwa. Pada tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana,  misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan haram lainnya.
Pasal 77 dan 78 tersebut berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Dimana sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan.  Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada serious crime atau tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan. Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta yang didapatnya bukan hasil tindak pidana, yang harus dilakukan adalah mengetahui apa saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama siapa.
Pasal-pasal lain yang mendukung pembuktian terbalik ini diantaranya yaitu pada Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai sita terhadap harta kekayaan hasil dari suatu tindak pidana yang menyatakan bahwa: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntu umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.”
Ketentuan Pasal 79 ayat (4) dalam penjelasannya dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara. Pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. Walaupun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan pencucian uang.  Di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil dari suatu tindak pidana (asas pembuktian terbalik). Dan untuk kelancaran pemeriksaan di pengadilan, dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa sesuai dengan ketentuan pada Pasal 79 ayat (1).










BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pembahasan Umum
Secara umum pengertian money laundering atau pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  yang dimaksud dengan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah “ perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.” .   
Pencucian uang telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana dan tergolong ke dalam white collar crime. Dengan modus operandi yang bersifat lintas negara (cross boarder),maka pencucian uang (money laundering) dianggap sebagai tindak pidana internasional , dinyatakan dengan konvensi PBB yang berbunyi Convention Against Illicit Traffic in Nartofies, Drugs and Psychotropic Substance of 1988. Dengan ditandatangani konvensi tersebut oleh Indonesia, maka Indonesia wajib memerangi kejahatan pencucian uang.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Pada pelaksanaan pencucian uang banyak memanfaatkan lembaga yang berdiri secara legal untuk melakukan pencucian uang. Misalnya, melalui pengampunan pajak , ataupun dengan membuka usaha baru yang legal atas nama orang lain, sehingga sulit dibuktikan bahwa itu merupakan pencucian uang. sehingga memerlukan kekuatan hukum yang pasti serta metode yang tidak berbelit dalam pengungkapan kasus. Metode tersebut adalah beban pembuktian terbalik, yang beban pembuktiannya bukan pada JPU tapi pada tersangka untuk menjelaskan darimana sumber kekayaan yang dimiliki. Sehingga menyulitkan tersangka untuk dapat berbohong mengenai kekayaannya yang bertentangan dengan penghasilan pokok maupun tambahan yang sah secara hukum (Legal Income).
Dengan demikian sangatlah penting dilakukan tindakan untuk mencegah atau memberantas tindak pidana money laundering tersebut. Upaya tersebut telah dilakukan pemerintah melalui UU No. 8 Tahun 2010 yang dalam Pasal 77 dan 78 mengatur pembuktian bahwa harta kekayaan tersebut hasil pencucian uang adalah dengan metode beban pembuktian terbalik.
    Pembuktian dalam tindak pidana sangatlah penting untuk mencari kebenaran materiil dalam proses pemeriksaan. Dalam hal pencucian uang (money Laundering) harus menggunakan metode yang luar biasa, karena TPPA tergolong dalam kejahatan white collar crime sehingga harus menggunakan metode pembuktian yang serius dan luar biasa. meskipun sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.” Jadi, negara Indonesia dalam sistem pembuktiannya menganut sistem Negatief Wettelijk.  Tapi untuk kejahatan pencucian uang harus menggunakan metode beban pembuktian terbalik.
Dalam beban pembuktian ini yang mempunyai beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah, sistem ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri. . Sebelumnya, dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaan terdakwa dan harta tersebutlah yang dibuktikan oleh terdakwa bahwa harta kekayaan terbut halal dan bukan didapat dari tindak pidana.
Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana.

B. Studi perbandingan dengan Negara Lain
Negara yang cukup gencar melakukan pemberantasan terhadap praktik pencucian uang adalah Negara Australia, telah dibuat berbagai metode untuk mencegah dan memberantas kasus pencucian uang di Australia yang pengaturan dan praktek penerapannya selalu dimonitor setiap waktu. Australia juga banyak mengambil dari metode yang ada di Amerika Serikat, dalam hal ini Australia memiliki The Financial Transaction Report Act (FTR), yang dikeluarkan tahun 1988. Dengan undang-undang ini, ditentukan kewajiban untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) bagi bank, demikian pula mewajibkan untuk membuat laporan atas setiap masuk dan keluarnya uang tunai sebanyak A $ 5,000 ke atas. Sebelum ketentuan di atas, tahun 1987 diterapkan pengaturan atas hasil kejahatan, yakni The Proceeds of Crime Act 1987. Undang-undang ini berkaitan dengan penanganan ruang lingkup dari fraud, narcotic trafficking hingga kepada kejahatan korupsi.
Australia memiliki beberapa pola penanganan kegiatan money laundering. Pola-pola tersebut adalah berikut ini: 
1.    Konsep Forteiture
Konsep ini berupa hilangnya hak berdasarkan putusan pengadilan yang memutuskan seseorang dinyatakan bersalah melakukan kejahatan tertentu. Dengan demikian, harta yang seharusnya dimiliki seseorang akan tetapi karena suatu kejahatan yang dilakukan, ia kehilangan haknya.
2.    Konsep Seizure
Seseorang dapat disita barangnya oleh pihak yang berwenang karena barang tersebut berupa hasil dari melakukan kejahatan. Harta ini kemudian berada di bawah pengawasan pengadilan. Konsep ini sangat dikembangkan di Australia.
3.    Konsep Confiscation
Konsep dimana pihak pejabat berwenang merampas barang-barang yang merupakan hasil kejahatan dan ditempatkan di bawah kekuasaan instansi yang merampasnya. Tetapi, perampasan ini hanya bisa dilakukan jika sudah terdapat putusan pengadilan, sebagai mana diatur si dalam The Proceeds of Crime Act 1987. Ketentuan itu adalah sebagai berikut barang yang dipergunakan dalam tindak pidana yang bersangkutan; barang yang digunakan secara langsung atau tidak langsung terhadap kejahatan itu; terhadap tindak pidana kekayaan dengan nilai yang dirampas senilai dengan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana tersebut; terhadap tindak pidana yang bersifat serius seperti perdagangan narkotika, penipuan yang terorganisasi, money laundering.
4.    Konsep Tracing
Konsep tracing ini ialah mencari jejak, yang dipandang sebagai cara penting dilakukan oleh petugas penegak hukum. Jika terdapat kecurigaan terhadap adanya suatu harta yang diperoleh dari kejahatan yang sudah atau sedang dicuci, selanjutnya ditelususri apakah benar-benar harta itu bersumber dari kejahatan supaya kemudian dilakukan penyitaan
5.    Konsep Restraining Order
Pengadilan dapat memberikan perintah pengawasan barang (restraining order). Berdasarkan perintah atau ketetapan pengadilan tersebut barang itu ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan supaya tidak masuk dari lalu lintas perdagangan.
6.    Konsep Monitaring Order
Konsep ini memberikan kewajiban bagi lembaga-lembaga keuangan untuk melaporkan transaksi yang patut dicurigai dari hasil kejahatan. Laporan demikian ditujukan kepada badan penegak hukum, yakni Australian Federal Police atau National Crime Autority.
C. Kondisi Faktual Di Indonesia
Metode beban pembuktian telah membawa hasil yang cukup memuaskan, salah satunya adalah dengan berhasil disitanya aset mantan Irjen Pol. Djoko Susilo yang sebelumnya telah diduga melakukan pencucian uang terhadap hasil korupsi Simulator SIM (Surat Izin Mengemudi), namun sulit untuk mengunkap kasus tersebut, karena lemahnya alat bukti dan barang bukti tapi setelah diberlakukannya asas beban pembuktian terbalik pengungkapan kasus tersebut jadi semakin mudah dilakukan.
Hal ini dimungkinkan karena telah disitanya 20 aset Djoko Susilo termasuk 3 SPBU, membuktikan bertentangan dengan penghasilannya. Karena tidak mungkin seorang Jendral yang tidak menduduki jabatan tertinggi di Mabes Polri, memiliki aset sebanyak itu dan juga peningkatan itu terjadi saat Djoko Susilo menjabat sebagai Dirlantas Polr. Telah jelas efektivitas dari UU No. 8 Tahun 2010 serta dengan ditambahnya Pasal 77 dan 78 yang mengizinkan dilakukannya asas beban pembuktian terbalik.
D. Kajian Atas Tema
Praktek pencucian uang merupakan tindak pidana yang amat sulit dibuktikan. Hal ini dikarenakan kegiatannya yang kompleks dan beragam, selain itu kemajuan teknologi yang makin berkembang, membuat para pelaku-pelaku kejahatan khususnya tindak pidana pencucian uang ini sangat rapi dalam melakukan kejahatan ini.
Akan tetapi sulit untuk para penegak hukum membuktikan tindak pidana ini. Karena para pelaku senantiasa menyiasati uang-uang hasil kejahatan ini dengan dijadikan seolah-olah uang yang diperoleh itu adalah sah. Dengan sulitnya bukti yang dapat diperoleh oleh para aparat penegak hukum, maka jika tetap berpaku pada asas pembuktian yang ada pada KUHAP, maka pemikiran yang muncul adalah bagaimana para pelaku yang dicurigai melakukan tindak pidana pencucian uang ini dapan membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan uang yang sah.
Dengan demikian beban pembuktian terbalik ini sangat membantu dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus tindak pidana pencucian uang ini. Disatu sisi beban pembuktian terbalik terbentur dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi hal tersebut bukan masalah apabila dalam menerapkan sistem beban pembuktian terbalik ini haruslah dengan batasan-batasan.
Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul asset-aset yang diduga dari hasil kejahatan, yaitu dengan menempatkan posisi hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, dan pada saat bersamaan menempatkan hak kemerdekaan yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. Teori pembuktian terbalik tersebut dikenal sebagai “teori keseimbangan kemungkinan” (balanced probability principle theory) dalam pembuktian harta kekayaan tersebut bertujuan untuk menjawab asal usul harta kekayaan seseorang yang sangat tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima setiap bulannya, dan diduga berasal dari hasil melakukan kejahatan-kejahatan tertentu, salah satunya korupsi. Teori ini menempatkan seseorang dalam posisi sebelum yang bersangkutan memperoleh harta kekayaannya yang meningkat secara signifikan.
Jika dikaji secara normatif bahwa tindak pidana pencucian uang ini merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga harus ditangani dengan cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement) juga, yaitu dengan cara menerapkan system pembuktian terbalik ini.
Dikaji dari perspektif kebijakan formulatif, beban penbuktian terbalik ini dilakukan karena tindak pidana pencucian uang sebagai ketentuan yang ketentuan yang bersifat “premium remedium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Oleh karena itu, dengan ditetapkannya “pembuktian terbalik” ini, bergeserlah beban pembuktian dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa.



BAB III
Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) merupakan serious crime  sehingga perlu ditangani dengan serius dengan metode yang praktis atau “tidak berbelit”. Maka dari itu sangat diperlukan beban pembuktian terbalik sehingga kekayaan yang terindikasi hasil dari pencucian uang dapat segera disita dan diamankan, membuat tidak terjadi pencampuran harta yang halal dengan harta hasil kejahatan, serta mencegah terjadinya perpindahan kepemilikan atas nama yang berbeda lagi.
Hal ini dikarenakan sulitnya penetapan tersangka dalam kasus pencucian uang, sehingga perlu penerapan asas beban pembuktian terbalik yaitu, dimana tersangka yang harus membuktikan bahwa harta yang dimiliki berasal dari harta yang halal (clean money) dan jika tersangka tidak berhasil membuktikan maka dianggap harta yang dimiliki merupakan hasil dari pencucian uang (money laundering). Asas ini cukup efektif dalam penentuan terdakwa dalam kasus pencucian uang yang marak terjadi di Indonesia.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kajian ini maka kami ingin menyampaikan saran-saran yang semoga akan bermanfaat bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
1.    Diharapkan UU No. 8 Tahun 2010 ini bisa berjalan sebagaimana yang telah dibuat oleh pemerintah, sehingga dapat mengurangi angka tindak pidana pencucian uang (money laundering) di Indonesia.
2.    Diharapkan agar pemerintah membuat suatu peraturan pelaksana dari UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang mengatur secara khusus tentang mekanisme pelaksanaan beban pembuktian terbalik.
3.    Diharapkan pelaksanaan pembuktian terbalik kedepannya atau nantinya tidak hanya pada proses pemeriksaan di pengadilan saja, namun juga dilakukan pada proses penyidikan.
4.    Diharapkan PPATK dapat bekerja secara optimal bersama-sama dengan lembaga terkait lainnya dalam proses penegakan hukum untuk selalu menerapkan sistem pembuktian terbalik ini sehingga dapat merubah dan memperbaiki image atau citra hukum di mata masyarakat Indonesia maupun dunia internasional.
5.    Pemerintah demi kelancaran dalam memberantas tindak pidana pencucian uang hendaklah lebih memaksimalkan upaya kepada masyarakat dalam hal mensosialisasikan, guna membantu meningkatkan kesadaran kepada masyarakat akan bahaya dari tindak pidana pencucian uang ini, maka akan dapat meningkatkan kerjasama masyarakat dan berbagai pihak terkait lainnya dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
6.    Diharapkan adanya sosialisasi mengenai peraturan di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang, mengingat bentuk kejahatan seperti halnya tindak pidana pencucian uang merupakan hal yang sangat baru dan banyak modus yang digunakan.
 Untuk beban pembuktian terbalik menurut Dr. Adami Chazawi, S.H. terdapat hal yang penting agar metode ini tidak sia-sia yaitu, terhadap surat bukti dakwaan yang harus berbentuk subsider-primer (berlapis) dan tidak kumulatif atau alternatif.  Jika dakwaan primer tidak terbukti dalam arti terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta kekayaan tersebut halal namun masih terdapat dakwaaan subsider atau lapis sehingga sulit untuk terdakwa lolos dalam tuduhan.

0 komentar:

Post a Comment